media online yang kami bangun (bersama Istri): Renungan-Katolik.com |
Apa yang pertama sekali terlintas dalam fikiran penerbit sebelum 'melempar' media? Jawabannya adalah 'segmen'.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita bisa dapati beberapa pengertian. Satu yang mengena adalah golongan/ kelompok.
Karena kita sedang membincangkan media, maka pengelompokan yang dimaksud ialah pembaca. Pengelompokan pembaca ini bisa dipilah berdasarkan usia, profesi, keyakinan, hobi, dan beberapa kategori lain.
Penentuan segmen bakal memudahkan pemasaran media. Dan juga 'memancing' pemasang iklan. Hukumnya, semakin besar pembaca/ pengunjung/ pemirsa, maka kue iklan akan semakin mengembang juga.
Jarang sebuah media mencakup banyak segmen pembaca. Terkhusus dalam media gereja. Benar bahwa perluasan segmen dapat dilakukan dengan memuat kolom-kolom tambahan di bidang (seperti): olah raga, bisnis, gaya hidup, dan lainnya.
Namun, kalangan pembaca sudah kadung haus berita ataupun informasi yang 'dalam.' Terlebih di era media online yang bertaburan bak pasir di tepi pantai.
Dunia pewartaan bermuara pada satu hasil pokok: Berita. Lalu,
apakah ‘berita’?
Melvin Mencher, penulis buku “News Reporting and Writing”
merumuskan bahwa berita dalam media massa mengikuti dua panduan berikut ini:
·
Berita adalah informasi tentang sesuatu yang
memecahkan alur peristiwa biasa atau umum. Atau di luar perkiraan, kebiasaan.
·
Berita adalah informasi yang dibutuhkan orang
untuk mengambil keputusan untuk hidup mereka.
Jenis Berita
Jumlah jenis berita dapat diperdebatkan. Namun, secara umum, kita
dapat memilahnya dalam tiga jenis berita, yakni:
aA. Hard news/ Straight news
Berita
peristiwa yang harus secara langsung/cepat ditayangkan karena memiliki nilai
penting dan baru. Pendekatan berbasiskan fakta (isi dan gambar).
Contoh:
Gunung Sinabung Meletus Lagi
Gunung
Sinabung di Sumatra Utara meletus kembali hari Kamis (26/5), dengan
menyemburkan abu vulkanik ke angkasa.
Hendra
Gunawan, pakar gunung berapi di pos pengamatan Sinabung di Brastagi, mengatakan
aktivitas seismik gunung itu masih tinggi dan ada kemungkinan meletus lagi.
Ia
mengatakan aktivitas Sinabung sempat tinggi selama dua hari belakangan,
ditandai oleh gempa berfrekuensi rendah dan hibrida yang hingga kini masih
berfluktuasi. Hendra menambahkan risiko ancaman meletus tetap tinggi karena
hanya dengan sedikit gempa saja sudah dapat menimbulkan letusan.
Desa
Sukandebi yang berjarak enam kilometer dari Sinabung, terimbas oleh letusan
terbaru gunung berapi itu
Sebagian
warganya, kebanyakan perempuan dan anak-anak telah meninggalkan kawasan itu,
tetapi banyak di antara warga lelaki yang tetap bertahan untuk mengurus rumah
dan ternak mereka.
Pihak
berwenang memantau ketat Sinabung setelah menetapkan tingkat kesiagaan
tertinggi pada Juni 2015. Letusan Sabtu lalu menewaskan tujuh warga desa yang
sedang mengurus ladang mereka di dekat Sinabung.
Gunung
setinggi 2.600 meter di Kabupaten Karo itu tidak aktif selama empat abad
sebelum meletus lagi pada Agustus 2010.
Gunung
Sinabung termasuk di antara lebih dari 120 gunung berapi yang aktif di
Indonesia, yang rawan terhadap guncangan bumi karena letaknya di “Lingkaran
Api” Pasifik, deretan berbentuk busur gunung berapi dan garis retak bumi yang
melingkari Samudera Pasifik. [uh/ab]
bB. Soft news
Berita
peristiwa yang tidak perlu disampaikan secara cepat karena tidak memiliki aspek
kesegeraan. Berita ringan mengutamakan sisi-sisi menarik, memberi wama pada
sebuah peristiwa.
Contoh:
Pengalaman melahirkan perempuan di tujuh
negara ditampilkan di Manchester
Ian Youngs
Wartawan
Seni BBC
Sebuah
festival teater tentang kelahiran digelar di Manchester, Inggris, menghadirkan
kisah-kisah di balik kelahiran di tujuh negara.
Para
penulis naskah drama dari masing-masing negara mengangkat beragam masalah
tentang kelahiran, baik tentang aborsi maupun kurangnya fasilitas kesehatan.
Di Amerika
Serikat, proses kelahiran secara alami memerlukan biaya rata-rata sebesar
US$10.800 atau sekitar Rp140 juta.
Sementara
di India, empat juta perempuan menjalani sterilisasi setiap tahunnya dan di
Brasil pemerintah berupaya untuk meredam 'wabah operasi Caesar', yang mencapai
tingkat 50% lebih di kalangan perempuan yang hamil.
Kisah
sedih di negara yang tercabik-cabik perang, Suriah, adalah ribuan bayi yang
lahir dari para ibu yang terpaksa mengungsi dari rumahnya.
Dan pada
saat Anda membaca fakta di empat negara tersebut, ada sekitar 40 bayi lahir di
seluruh dunia!
Sterilisasi
dengan imbalan uang
Namun
kualitas layanan kesehatan yang tidak sama dan tekanan budaya masing-masing
tempat membuat situasi kelahiran bayi-bayi tersebut menjadi amat berbeda.
Perbedaan
itulah yang diangkat oleh Festival Kelahiran yang digelar di Teater Royal
Exchange di Manchester hingga Sabtu 22 Oktober, dengan mengundang penulis drama
Swati Simha, dari India, menyajikan cerita yang diinspirasi dari kunjungannya
ke kampung pemukiman masyarakat suku Adivasi di negara bagian Jharkand.
Para
perempuan Adivasi, menurutnya, mendapat tawaran uang jika bersedia
disterilisasi karena pemerintah ingin menyingkirkan masyarakat suku tersebut.
"Pertanyaan
utama dari kelahiran adalah kenapa menghabiskan demikian banyak untuk
mensterilkan perempuan kalau bisa menggunakan uang tersebut untuk meningkatkan
layanan kesehatan?."
"Saya
kira mereka tidak ingin masyarakat suku tersebut mengendalikan hidup mereka
sendiri," tegas Simha.
Melahirkan
sebagai 'aksi pemberontakan'
Di Kenya,
para perempuan yang menghadapi masalah kelahiran dengan fistula -yang bisa
disebabkan karena luka saat operasi atau terkena infeksi- tidak selalu
ditangani secara medis.
Kisah itu
yang diangkat oleh Mumbi Kaigwa, "Banyak orang yang tidak tahu bahwa ada
pengobatannya, dan karena situasi yang mereka hadapi serta ada informasi bahwa
hal itu adalah kutukan, atau karena mereka perempuan atau karena kotor dan
segala alasan seperti itu, maka mereka diusir."
Sedangkan
drama dari Suriah menghadirkan tiga perempuan:
Yang tetap
tinggal di Suriah diperkosa
Yang
mengungsi ke Libanon dipaksa menjadi pekerja seks komersial
Dan yang
pergi ke kamp pengungsi di Calais, Prancis, untuk mencari suaminya
Penulis
Liwaa Yazji mengatakan bagi perempuan Suriah, melahirkan adalah sebuah 'aksi
pemberontakan'.
Banyak
orang, menurutnya, yang bertanya kenapa seorang perempuan melahirkan ketika
tinggal di tenda pengungsi, ayahnya berperang, dan tidak ada uang.
"Namun
perempuan, mereka tidak ingin menyerah. Mereka ingin membawa kehidupan dan
secara naluriah, itu adalah hak mereka," kata Yazji.
"Dan
dengan semua kematian di Suriah, banyak orang yang berpikir secara naluriah
bahwa melawan kematian adalah dengan memberikan kehidupan baru."
Kisah dari
negara-negara Barat juga ditampilkan di Manchester.
Selain
biaya melahirkan yang termahal di Amerika Serikat, juga ada tentang seorang
perempuan yang sengaja datang ke London dari Irlandia Utara, yang melarang
aborsi kecuali untuk kasus-kasus yang amat terbatas.
Direktur
Kreatif Festival Kelahiran, Emma Callander, menjelaskan gagasan dasarnya adalah
mengangkat pertanyaan-pertanyaan penting tentang layanan kesehatan untuk
kelahiran yang tidak banyak diliput media.
"Dengan
mengangkat masalah tersebut, kami berharap akan mendorong tindakan langsung
dalam peningkatan situasinya."
Setelah
festival, pihak penyelenggara rencananya akan menawarkan ketujuh drama tesebut
secara gratis kepada yayasan sosial maupun lembaga pendidikan untuk meraih
khalayak yang lebih luas.
cC. Feature
Berita
yang mengisahkan tentang pribadi, obyek dengan menggunakan pendekatan kisah.
Contoh:
RP Marselinus Monang
Sijabat, O. Carm
“Keluarga Menginspirasi Jalan Imamat Saya”
Saya tidak begitu mengingat rincian kisah semasa saya lahir
di tengah keluarga. Menurut cerita dari orangtua, ketika saya lahir yang maranggap (melek-melekan) di rumah
adalah Pastor Paroki dan Para suster KYM yang sedang mengadakan kunjungan di
stasi kelahiran saya (Stasi Tanjung Harapan Paroki Aek Nabara) dan bermalam
dirumah orang tua, Robert Marcellus Sijabat (almarhum 4 Nopember 2008), yang pada
waktu itu memang menjabat sebagai forhanger stasi.
Saya lupa persis pastor siapa pada saat itu, mungkin pastor
Germano atau Pastor Josep SX. Sambil markombur-kombur
mereka membuat nama saya “Monang Kader”. Dan memang itulah nama pemberian para
pastor dan suster tersebut. Entah mengapa nama Kader-nya tidak saya temukan di
berkas-berkas saya. Menurut Permenungan saya, ada benarnya juga karena
tokoh-tokoh ini yang menanamkan benih panggilan itu pada saya, karena begitu
saya lahir saya sudah melihat pastor dan para suster begitu lahir dari
kandungan ibu, Rebecca br. Sibarani (almarhuma 7 September 1987).
Para Pastor yang pernah berkarya di Parokiku sedikit banyak
mempengaruhi perjalanan panggilanku. Pantas saya ucapkan terimakasih kepada
Pastor Luigi Magnasco SX, P. Germano SX, P. Joseph SX, dan P. Salvador, dan
para Suster KYM yang pernah berkarya di Paroki Aek Nabara yang katanya dulu
sering makan dan menginap di rumah orangtua saya ketika marstasi.
Semasa studi SMP RK Bintang Timur Rantau Prapat, saya iseng-iseng
mengikuti testing ke Seminari Menangah Pematang Siantar. Perkenalan dengan
seminari bermula dari abang saya yang masuk seminari di Retorica, lalu masuk
postulan Kapusin dan akhirnya keluar. Niat awalnya, hanya mau masuk seminari
untuk mencuri ilmu dan mengembangkan bakat seni khususnya seni musik saja.
Pada saat testing dalam sesi wawancara masih saya ingat
pertanyaan Pastor Anselmus Mahulae OFM Cap. “Apa Motivasimu masuk seminari?” Dengan
berbohong penuh semangat saya menjawab: “Saya mau jadi coba-coba jadi pastor”.
Pastor itu menjawab :”Ohhh.... Jadi kamu hanya mau coba-coba ya.... Ya sudah,
kita coba-coba saja terima nanti...””. Tidak ada harapan saya akan diterima
pada waktu itu, namun akhirnya diterima juga. Akhirnya saya masuk Seminari tahun
1996.
Masih saya ingat setelah diterima benar juga kata coba-coba
tadi mulai terbukti, semester pertama di seminari hampir saja saya dicobai
alias hampir dikeluarkan karena nilai akademisnya coba-coba juga alias dibawah
standar. Namun berkat bimbingan para imam dan guru di seminari saya banyak
mengalami perubahan dan bakat saya pada bidang seni juga tetap saya kembangkan.
Setelah tamat dari Seminari Menengah awalnya saya tidak
direstui oleh saudara/i untuk masuk Biara, dengan tawaran-tawaran yang menjanjikan
saya diminta untuk tidak melanjutkan perjalanan panggilan ini. Mereka meminta
supaya saya kuliah musik saja. Mungkin takut saya berhenti ditengah. Tapi entah
mengapa saya tetap memilih untuk melanjutkan panggilan saya dan akhirnya saya
memilih Ordo Karmel.
Pilihan menjadi seorang karmelit boleh saya katakan adalah
hasil bimbingan Roh Kudus. Untuk memilih ini saja saya harus berdoa pribadi
pada saat jam istrahat sekolah, dan hasilnya saya mendapatkan bisikan agar saya
memilih Karmel. Bagi teman-teman seangkatan dan teman-teman dekat saya pada
waktu di Seminari adalah pilihan yang aneh. Bahkan seorang pastor pembimbing
berkata “Kamu tidak cocok jadi seorang karmelit, kamu akan berhadapan dengan
teman-teman dari Jawa nanti. Kamu aja kalo ngomong keras-keras”. Cukup
beralasan Pastor itu berkata demikian karena beliau mengenal saya dan beliau
berasal dari Pulau Jawa juga. Namun akhirnya saya diterima di Ordo Karmel. Ada
6 orang kami yang diterima dari Seminari masuk Ordo Karmel pada saat itu.
Tahun 2000 bersama dengan 6 orang saudara saya melangkahkan
kaki di Jawa Timur dan masuk biara Novisiat Karmel Regina Apostolorum – Batu
Malang. Perjalanan menjadi seorang Karmelit dan menjadi Imam Karmel juga
tidaklah berjalan mulus. Masih saya ingat tahun Juli 2002 ketika akan profesi
perdana/kaul perdana hampir saja kaul perdana saya ditolak karena alasan nilai
akademis. Demikian halnya juga ketika tahun ke-II Profesi di tengah perjalanan
hampir dikeluarkan dari Biara karena sakit. Tetapi berkat dukungan pembimbing Rohani
dan Bapak Pengakuan saya masih dipertahankan untuk tinggal di Biara, dan
akhirnya juga masih diijinkan untuk memperbaharui kaul tahun-tahun berikutnya.
Akhirnya saya diijinkan terus untuk mengucapkan profesi/kaul kekal di Ordo
Karmel dan diijinkan untuk menerima tahbisan Imam.
Memberantas Judi
Togel
Jika ditanya soal pengalaman menantang selama pelayanan
sebagai Imam, belumlah terlalu banyak sebab perjalanan saya sebagai imam masih enam
tahun. Namun dalam rentang waktu tersebut ada kisah-kisah menarik yang saya
alami, yakni memberantas Judi Togel.
Saat itu tahun 2012 sedang marak judi togel di wilayah
Paroki Sumbul. Banyak umat yang terlibat dalam kejahatan ini, mulai dari
anak-anak sekolah terlebih para kaum bapak bahkan ibu-ibu. Tidak jarang juga
para pengurus Gereja terlibat di dalamnya, sampai-sampai perikop bacaan kitab
sucipun dan nomor ende dibuat jadi nomor jitu. Istilah mereka Kode Alam. Melihat realitas ini bersama
dengan pastor paroki pada saat itu kami mengadakan pembinaan kepada para kaum
bapak di Sumbul dengan tema “Antara Kitab Suci dan Togel: Antara Kehidupan dan
Kehancuran Hidup”.
Dalam situasi ini, saat itu ada satu rumah persis
bersebelahan dengan kantor Paroki menjadi tempat penyetoran dan berkumpulnya
para penulis togel dari berbagai daerah. Sering kali rumah ini ramai setiap
malamnya. Sering juga pulang dari stasi malam hari jalan menuju pastoran
terhalang oleh kendaran mereka bahkan sering ada kendaraan oknum aparat sampai
harus berdebat dengan yang bersangkutan karena saya mengklekson mobil dengan
kuat agar kendaraannya disingkirkan.
Melihat kenyataan ini saya mencoba mencari jalan untuk
menjumpai Kapolres Dairi. Berkat bantuan seorang kenalan di Jakarta akhirnya
saya diperkenankan menjumpai sang Kapolres. Saya bersama seorang saksi yang
bersebelahan langsung dengan rumah yang bersangkutan dan ketua DPP melaporkan
keprihatinan tersebut. Saya meminta supaya situasi itu ditanggapi dengan
segera. Sang kapolres hanya mengiyakan saja. Satu minggu setelah pertemuan itu
tidak ada juga tindak lanjutnya, lalu saya menelepon kembali kepada sang
kapolres dengan bantuan kenalan dari Jakarta juga. Setelah saya mendesak
akhirnya laporan itu ditindak lanjuti.
Dalam masa pelaporan itulah ada beberapa pihak yang merasa
terganggu dan mulai melancarkan aksi teror. Pernah dalam perjalanan malam ke
stasi kendaraan saya di cegat dan berkata: “Pak, jangan terlalu sibuklah
mengurus situasi ini, mohon hati-hati”. Dan dengan tenang saya berkata: “anda
bukan urusanku”.
Ada hal yang menarik lagi berkaitan dengan togel ini. Pernah
saya kunjungan ke stasi ketika mengadakan misa malam bersama OMK. Saat saya
memarkirkan sepeda motor, entah karena tanahnya lembek sepeda motor itu
terjatuh dan sontak seorang pengurus dan seorang bapak tua berkata: “Bah... Madabu
kareta ni pastor... nomor piga BK-na”. Sontak saya berkata:” “Bah amanta on... Dang
na ditolong pastorna... nomor ni BK na do disungkun. Buatma nomor na i, asa
suda hamu”. Sontak bapak dan pengurus itu terdiam dan tidak berani berkata-kata
selama acara.
Pengaruh Kasih
Keluarga
Bila saya melihat perjalanan panggilan menjadi seorang Imam
saat ini bermula dari kebiasaan keluarga. Sebagai bungsu dari enam bersaudara (Bertua
br. Sijabat, Nurmiwaty br. Sijabat, Rentauli br. Sijabat, Parulian Sijabat,
Bernatus Sijabat), saya cukup merasakan arti kebersamaan dan hidup doa
keluarga. Bapak saya seorang Forhanger dan boleh dibilang sebagai perintis
Gereja stasi kelahiran saya.
Ada kebiasaan yang sangat baik yang saya rasakan sejak dulu,
makan bersama adalah kebiasaan terindah dalam keluarga kami. Makan malam adalah
hal terindah dalam keluarga kami. Almarhum bapak tidak mengijinkan siapapun
dari kami yang boleh makan sendiri-sendiri. Jika ada kakak atau abang yang
pergi keluar malam dan belum makan harus dicari supaya bisa makan bersama.
Dalam makan bersama inilah sering kali kami melakukan percakapan dengan kedua
orang tua dan sanak saudara. Saya masih ingat untuk makan malam saja sering
kami berlama-lama sambil bercengkrama. Almarhum bapak juga sering membagikan
lauk dari piringnya kepada anak-anaknya.
Selain itu ketika kami anak-anaknya akan menghadapi
ujian-ujian penting dalam sekolah masih
saya ingat bagaimana bapak memberikan makan khusus bagi kami. Masih saya ingat
ketika akan ujian saya mendapatkan sebutir telur diatas nasi putih dalam piring
dan diberikan pada saya ketika makan malam sebelum ujian.
Selain acara makan bersama hal yang sangat terkesan buat
saya adalah ketika hari Minggu. Ada kebiasaan dalam keluarga kami untuk pergi
ke Gereja secara bersama-sama. Maka ada kebanggan bagi saya ketika kami semua
bisa berjalan bersama-sama ke Gereja.
Kebiasaan lain yang masih saya ingat adalah kebiasaan malam
pergantian tahun baru. Pada malam pergantian tahun setelah pulang dari Gereja,
kami akan berkumpul dan melakukan doa bersama. Hampir tidak pernah terlewatkan
kebersamaan seperti ini tiap tahunnya.
Pengalaman dalam keluarga inilah yang sekiranya sangat
mempengaruhi hidup panggilan saya.
praktik liputan -- wawancara dengan biarawati SOSFX tahun 2014 |
Kita telah menyiapkan hati serta tenaga untuk menjadi pewarta di
media Gereja. Namun ada baiknya kita akrab dengan beberapa istilah dalam dunia
media, yakni: Jurnalistik, Pers dan Publikasi yang merupakan
akar penting dalam dunia pewartaan. Guna memahami ketiga bagian tersebut dapat
ditelusur dari asal-usul kata (etimologi).
Secara etimologis, jurnalistik (journalistic, journalism) berakar
kata "jurnal" (Inggris), "du jour" (Prancis), dan lebih
jauh lagi ke zaman Romawi Kuno, yaitu "Acta Diurna". Pengertian
jurnal ialah laporan atau catatan. Du
Jour artinya hari atau catatan harian, sama dengan pengertian diurna.
Pada masa pemerintahan Kaisar Julius Caesar, Acta Diurna dibuat
sebagai pengumuman/ berita tentang pertukaran
pejabat istana, perpindahan pegawai, kunjungan resmi pejabat, undangan kaisar,
berita keluarga, upacara kerjaan, termasuk mengenai pertunjukan sirkus.
Perkembangan teknologi cetak oleh Guttenberg menandai era baru
penyebaran informasi melalui kertas. Di masa inilah kemudian populer istilah
Pers (dari bahasa Inggris, ‘press’) yang berarti ‘cetak’ atau ‘mencetak’.
Sebelum dibanjiri media elektronik dan
internet, istilah Pers sungguh lekat dengan media cetak (kertas). Namun kini,
istilah tersebut diperbaharui sesuai dengan peran utama-nya: media untuk
publikasi (penyebaran/ penyampaian) berita.
Referensi:
Buku “Memulai &
Mengelola Media Gereja dalam terang Inter Mirifica” karya R. Masri Sareb Putra.
game wawancara bersama Pastor Jaka OFM Conv dalam satu pelatihan menulis di Paroki Bandar Baru - KAM |
Misalkan Anda diminta Pastor turut bergabung dalam Tim Komsos Paroki. Anda merasa sungkan menolak undangan sang gembala. Namun di sisi lain, terbayang ribetnya peran yang bakal kerap ditunjuk sebagai seksi dokumentasi dan pemberitaan kegiatan Paroki. Seperti menulis berita seremoni di stasi maupun Paroki. Juga memotret, menyunting, menentukan tema setiap edisi, distribusi dan kontak dengan pelanggan; semua itu bagai pekerjaan raksasa membuat diri Anda bagai domba malang yang terjerat di semak-semak.
Gambarannya tidak akan seseram di atas jika Anda telah lama berkutat di dunia media. Namun, tidak semua insan mendapat ‘kutukan’ berada di balik dapur redaksi. Tenang sajalah, blog ini akan menjadi ‘teman bercerita’ dalam menjalani peran di media,baik di media Gereja, kampus bahkan lingkungan kerja.
Anda mungkin bertanya terlebih dahulu: apa pentingnya media? Mengapa setiap lembaga kini repot-repot membangun media? Penjelasan secara teoritis bakal membuat Anda ngantuk. Namun saya ada sebuah cerita menarik. Berikut kisahnya:
“Wah. Tunggu dulu! Sepertinya ada sesuatu muncul! Pendengar sekalian, saya melihat sesuatu yang mengerikan. Tampak ujung dari benda tersebut mulai mengelupas! Bagian atasnya mulai berputar seperti sekrup! Benda itu pasti terbuat dari besi! Ini benda paling menakutkan saya yang pernah saya lihat! Tunggu sebentar. Tampaknya seseorang merangkak keluar dari bagian atasnya yang berongga. Orang ataukah … benda. Dan saya masih terpaku menatap dua cakram bercahaya di depan … apakah itu mata? Atau mungkin itu wajah. Yah bisa jadi…?” [1]
Petikan kalimat di atas berasal dari sebuah naskah drama untuk radio yang dimainkan oleh Orson Welles dan Mercury Theater pada 30 Oktober 1983 silam. Drama yang disiarkan oleh Radio CBS Radio Studio One di New York ini bertemakan serangan mahluk alien dari planet Mars ke Bumi.
Sepintas tidak terdapat hal yang aneh dalam petikan naskah tersebut. Hal yang wajar sebab kita telah kenyang dengan sajian hiburan fiksi ilmiah dari berbagai saluran multi media. Namun, sebaliknya bagi pendengar di New York yang kala itu masih berkutat pada media radio, justru menimbulkan dampak yang jauh.
Segera setelah drama berdurasi satu jam tersebut disiarkan, masyarakat berbondong-bondong ke stasiun CBS dengan membawa berbagai perabot. Jalan-jalan dipenuhi suasana histeris. Rumah-rumah ibadah penuh sesak oleh manusia yang ingin bertobat. Semuanya mengira bahwa cerita drama tersebut adalah sungguhan. Baru setelah Orson dan CBS menjelaskan duduk perkara sebenarnya, masyarakat kembali tenang.
Drama Radio CBS New York tadi membuat geger para peneliti dunia betapa hebatnya daya media dalam mempengaruhi masyarakat. Peran vital tersebut yang kerap diberdayakan untuk membentuk pendapat dan keputusan insan pengguna media. Baik dalam masa pemilihan kepala daerah ataupun negara, serta ‘rayuan’ untuk membeli barang dan jasa.
Dalam lingkup lembaga, fungsi media tidak sekedar memberi informasi/ berita kegiatan seremonial belaka. Lebih jauh lagi ‘saluran’ tersebut terus-menerus menyuarakan nilai dan visi-misi yang diusung lembaga. Untuk media Gereja tentu saja ada nilai dan visi-misi yang hendak dipaparkan kepada umat. Sebagai komunikan*, umat meresapi nilai rohani dalam media pewartaan serta dilibatkan untuk mencapai visi-misi Gereja.
Nah! Peran mulia ini lah hendak diembankan di pundak Anda. Kini kita 'berjalan' bersama mempelajari membangun media Gereja. Baik di lingkup Paroki ataupun lingkungan.
Nah! Peran mulia ini lah hendak diembankan di pundak Anda. Kini kita 'berjalan' bersama mempelajari membangun media Gereja. Baik di lingkup Paroki ataupun lingkungan.
Pustaka:
[1] Bisa dirujuk dari laman http://www.history.com/this-day-in-history/welles-scares-nation
* Penerima informasi dalam berkomunikasi